Seorang pembunuh masuk penjara, lalu pacaran dengan putri kepala penjara, kemudian kabur dari penjara demi sang kekasih, dan akhirnya ditangkap aparat — tak jelas apakah dia mati dibunuh atau masih hidup. Hingga kini, setelah 34 tahun berselang, sang putri masih melajang dan selalu berharap lelaki pujaan hatinya itu akan muncul. Benar-benar cinta yang abadi.
Pangururan Kab SamosirArtikel berupa berita ini ditulis oleh Suhunan Situmorang — advokat pada Nugroho Partnership, Jakarta, juga penulis novel Sordam — yang kuterima di imelku, bataknews [at] gmail [dot] com.
MALAM ITU PARA lelaki dewasa, umumnya bermarga Situmorang dan Sitohang yang tergabung dalam paguyuban klan Sipitu Ama, hampir tak tidur. Semburat amarah dan ketegangan tergurat di wajah mereka. Pembicaraan tak putus-putus, asap rokok berkepul-kepul. Sejak pagi rumah kami dipenuhi orang, dijadikan semacam posko darurat. Sesekali tentara, polisi, sipir penjara, keluar-masuk. Sebuah kejadian mirip kisah Romeo dan Juliet menggemparkan warga kota mungil di tepi Danau Toba itu.
RS, seorang gadis SMA, dibawa kabur seorang pria. Sebetulnya tindakan semacam bukan hal yang harus mengundang kegemparan bagi masyarakat-adat Batak. Masalahnya, sang lelaki berstatus narapidana! Baru hitungan bulan ia huni lembaga pemasyarakatan (LP) Pangururan karena tindak pidana kelas berat: membunuh seorang kerabat semarganya, melukai dua lainnya, karena konflik perbatasan tanah (parbalohan).
Tak disangka, diam-diam RS menjalin asmara dengan BS, narapidana yang terbilang tampan dan tubuhnya mirip atlet tinju itu. Ayah RS yang kami panggil ompung (kakek), tak lain kepala LP (sekarang disingkat Kalapas). Rumah dinasnya berbatasan langsung dengan sisi barat LP yang cuma dibatasi pagar tinggi berlapis kawat duri peninggalan Belanda dan tanaman perdu.
Masih jelas kuingat wajah lelaki nekat itu. Manakala melintas di depan LP yang kebetulan satu jalan dengan rumahku, Jln. Kejaksaan, Tajur, acap ia berdiri di halaman depan LP, bertelanjang dada, berkeringat, usai kerja. Tapi ia tak seperti narapidana lainnya yang suka menyapa anak-anak Tajur agar diberi rokok, cabe, garam, gula, kopi, ubi, atau sisa makanan di rumah. Napi yang satu ini agak beda. Pendiam, terkesan angkuh, menjaga harga diri dengan cara tak meminta-minta, seolah ingin berkata bahwa dirinya bukan terpidana sembarangan. Warna kulitnya sawo matang, mulus, tak legam sebagaimana lazimnya petani. Bentuk mukanya pun tak seperti wajah Batak pedesaan kebanyakan. Andai bukan napi, pantaslah bila ia diidamkan kaum wanita.
Hampir semua napi (kecuali yang dianggap berbahaya) melakukan sosialisasi dengan penduduk setempat. Tenaga mereka digunakan pengusaha kedai makan dan orang-orang yang melakukan hajatan adat. Upah mereka dibagi dua, sebagian ke sipir penjara, sisanya ke kantong mereka. Selama bekerja di luar penjara, sipir tak perlu mengawasi; herannya, belum pernah terdengar ada napi kabur.
BS belum dibolehkan mengikuti program pemasyarakatan-kembali, mungkin karena masih anyar dan kasusnya pidana kelas kakap. Ia jarang menyapa orang atau sekadar melempar senyum, dan sepertinya memendam amarah karena belum bisa menerima hukuman atas perbuatannya. (Masa itu, majelis hakim datang dari Balige, jadwal sidang tiap Rabu). Cerita orang-orang penjara, sesungguhnya ia “bukan pembunuh”, malah beruntung bisa memenangkan pertarungan berat sebelah melawan tiga lelaki dewasa—masih kerabatnya—yang tiba-tiba menghadang dirinya dengan parang di ladang ubi dan palawija orangtuanya. Kalau tak tangkas berkelahi, lehernyalah yang dipenggal. Sayangnya, saat itu dan hingga kini, belum ada pengacara praktek di Pangururan untuk membela dirinya agar tak dibui 15 tahun. KUHP memungkinkan peringanan hukuman bagi orang-orang yang (harus) membunuh demi membela diri.
Di balik sikap dingin BS, tak dinyana, ia lesatkan panah asmara ke dada RS. Entah bagaimana cara mereka berkomunikasi, dugaan orang-orang, dilakukan dari balik pagar kawat duri sisi kanan LP dan lewat surat-surat. Cinta mereka tumbuh lebat dalam hitungan bulan, apinya membara tak terpadamkan. Bila menunggu selesai masa hukuman, alangkah lamanya. Diam-diam mereka rancang pelarian, dan suatu subuh berhasil meloloskan diri. Cara pelarian BS simpang-siung. Ada yang bilang, RS mengambil anak kunci LP dari kantong ayahnya dan membuka sendiri gembok pagar LP dari luar. Sebagian mengatakan, RS menggunting kawat duri tebal, dicicil berhari-hari. Sebelah kiri halaman rumah RS berbatasan memang dengan pagar LP, tumbuh lebat berbagai tanaman. Seseorang bisa berondok melakukan kegiatan tanpa ketahuan.
Petugas dan puluhan pengisi penjara yang tak begitu besar itu tentulah geger. Lebih menggegerkan lagi setelah tahu, BS juga memboyong putri pak kalapas. Kesimpulan orang-orang, RS diguna-gunai BS. Ia kena sihir dorma sijunde, sejenis pelet pemikat wanita yang konon amat ampuh. Bagaimana mungkin anak pejabat LP (masa itu kalapas termasuk jabatan elit) mencintai napi pembunuh dan nekat membobol penjara bila tak dimejik?
Polisi, petugas LP, pegawai kejaksaan, panik. Di rumah kami, kaum Sipitu Ama, kebetulan ayahku ketuanya, heboh dan tegang. Mereka amat geram dan merasa dipermalukan BS. Ibuku menggelar tikar-tikar pandan untuk menampung puluhan tamu, di dapur kaum perempuan sibuk menyiapkan minuman dan makanan untuk banyak orang, tanpa diperintah.
Kebetulan komandan Puterpera (Koramil sekarang) masa itu bermarga Situmorang, dua polisi senior bermarga Situmorang dan Sitohang, dan camat Sinaga beristrikan boru Situmorang pula. Jadilah pertemuan mereka layaknya rapat Muspida. Sejak pagi hingga tengah malam rumah kami disesaki kerabat dan tetangga. Diam-diam hatiku senang. Ada keramaian, ada ketegangan, ada gunjingan yang mendebarkan, banyak makanan…
Menurut laporan kurir yang sengaja dikirim mengintip, BS dan RS ada di Huta Ginjang-Sagala, kampungnya BS, persis di pinggang Pusuk Buhit—gunung yang dikeramatkan dan dianggap suci, sumber mitos manusia Batak pemula. Tim pemburu dibentuk, persiapan penyergapan dimatangkan. Dua kendaraan sudah parkir di depan rumah, satu jip Willis milik dinas kehutanan, satu mobil bak terbuka milik tentara. Rencana penyerbuan dirancang sang komandan Puterpera, sekaligus pimpinan “pasukan” yang terdiri dari dua tentara, dua polisi, dua utusan marga; tak termasuk seorang “wartawan gadungan” pelajar kelas satu SMP bertubuh kecil yang sangat ingin tahu.
Pukul dua pagi, pasukan bergegas. Aku, yang sengaja lek-lekan seraya melawan kantuk berat, meloncat ke bak belakang mobil pick-up dan langsung tiarap agar tak ketahuan. Rombongan bergerak, jip Willis di depan. Udara sungguh dingin, membuat tubuhku menggigil sembari meringkuk membelakangi kabin pick-up. Jalan sunyi dan gelap yang dilewati rombongan melewati kanal Tano Ponggol buatan Belanda yang memisahkan Samosir dengan Sumatera, lalu belok kanan menuju Aek Rangat—sebuah lokasi wisata pemandian air panas alami di kaki Pusuk Buhit, di atas danau.
Lewat Aek Rangat, kendaraan menanjaki jalan berbatu, berlobang-lobang, berkelok-kelok, sebelum berhenti di atas desa Tulas. Huta Ginjang masih ratusan meter di atas, mendekati puncak Pusuk Buhit. Gelap gulita di sekeliling, bulan tak muncul, bintang diselubungi awan, suara-suara jangkrik dan serangga malam mengusik keheningan. “Komandan pasukan” memberi pengarahan sebelum bergerak menanjaki jalan setapak sembari membawa senjata laras panjang, pistol, parang, kayu pemukul dan tali.
Saat itulah muncul penyesalan dalam hatiku, kenapa memaksakan diri ikut. Ada rasa takut bila sendirian di mobil, selain tak tahan menahan dinginnya udara. Bila menyerah, pastilah didamprat amanguda, sang komandan tentara; manusia galak nan tegas namun berhati baik. (Ia layaknya ayah kedua bagi kami anak-anak ayah). Akhirnya kuputuskan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam, mendaki tanpa penerangan.
Ternyata rumah BS lumayan jauh dari tempat kami berhenti. Napasku sudah ngos-ngosan, semak belukar yang dibasahi embun pagi sungguh menyebalkan—dingin menusuk bila kena kulit. Tiba di sebuah perkampungan yang hanya diisi sedikit rumah, senter dimatikan, kepala rombongan memberi pengarahan. Tubuh mereka bagai hantu-hantu yang berkerumun. Rumah BS langsung mereka kurung, dan…brak! Pintu rumah kayu yang ringkih itu mereka dobrak bertubi-tubi. Aku heran sekaligus takjub, semudah itu mereka dobrak pintu rumah BS. Dasar serdadu!
“Angkat tangan! Jangan bergerak! Jangan ada yang melawan, mana BS dan RS?”
Terjadi kegaduhan. Penghuni rumah yang ternyata beberapa keluarga, berteriak-teriak. Kaum perempuan dan anak-anak sontak bertangisan. Orangtua dan saudara-saudara BS rupanya melakukan perlawanan. Di luar rumah, seorang polisi meletuskan senjata. Dor! Dor! Dor! Jantungku berdebar kencang, kakiku gemetar, perasaanku kacau-balau. Kegaduhan berlanjut, kaum perempuan kian menjerit ditingkahi bentakan tentara dan polisi. Aku panik di semak-semak, takut kena peluru nyasar, cemas dipatuk ular.
“Biarkan aku di sini Bapaku, rajaku…!” teriak RS sambil meraung, “Ampun…kumohon Amanguda, jangan pisahkan kami!”
Gaduh!
“Diam…! Tutup mulutmu! Bikin malu!”
“Ampun Ito, jangan pisahkan kami! Jangan pukuli mereka, Bapa! Mereka tidak salah…”
“Diam…! Bikin malu!”
“Aku sangat mencintainya, Amanguda…! Kami saling mencintai, Bapa…!”
“Tutup mulutmu! Bawa dia ke jip!”
RS diseret keluar rumah, BS bersama orangtua dan dua abangnya digelandang. Aku bergegas menuruni perbukitan, beberapa kali tergelincir, lenganku luka gores.
Salah seorang amanguda kaget melihat badanku rebah di bak mobil. Mulutku gagap menjelaskan, lalu disuruh pindah ke kabin depan. BS bersama ayah dan dua saudaranya diletakkan di bak mobil, tangan mereka diikat, diawasi tentara dan polisi. RS susah-payah dibawa ke jip, tubuhnya diseret menuruni jalan setapak sambil histeris.
Sepanjang jalan pulang yang penuh kabut, kami membisu. RS tetap berteriak-teriak dan berusaha meloncat dari jip yang melaju perlahan. Sesekali kulirik ke belakang lewat kaca dinding kabin belakang. Hidung dan bibir BS, juga ayah dan saudaranya, agaknya berlumur darah.
Aneh…, diam-diam muncul keinginanku membebaskan mereka. Andai dapat, ingin kubantu mereka melarikan diri, berlari dan berlari untuk mendaki perbukitan tinggi yang mengitari lembah Sianjurmulamula, lalu bersembunyi di hutan Laepondom. Kusesalkan kebodohan BS dan RS yang tak memilih kabur dengan menumpang bus jurusan Sidikalang atau Doloksanggul-Tarutung. Sungguh pelarian yang tanggung-tanggung.
Menjelang kedatangan matahari, kami tiba di Pangururan. Para “tawanan” itu langsung dijebloskan ke ruang tahanan polisi, sementara RS dibawa ke rumahku. Ia dikurung di kamar tengah. Bergantian kaum ibu dan bapak menemuinya, memberi nasehat, juga memarahinya karena telah menorehkan aib di wajah orangtua dan klan Sipitu Ama.
RS tak mau dengar, menutup telinga sambil menjerit, meratap, meraung, minta dikembalikan pada kekasihnya. Acap tubuhnya berguling-guling sambil meraung dan meronta. Masih kuingat kata-kata seram yang sering diucapkannya bersama ratap yang menyayat-nyayat kalbu: ”Walau pisau tajam sudah kalian siapkan untuk membunuhku, aku akan tetap memilih BS…!” Terkadang: “Ooo..Among, inong, inanguda, amanguda, ito, eda, lebih baiklah kalian bunuh diriku daripada berpisah dengan BS…! Dialah lelaki satu-satunya yang kucintai dan mencintaiku di bumi ini..” Dan, ketika ayahku coba membujuk agar ia tenang, ia menangis seraya mengiba-iba: “Among yang baik, Bapaku…, Ito-ku nalagu…, kasihanilah kami. Restuilah hubungan kami, Ito…”
“Sadar kau R***, dia itu mengguna-gunaimu!” kata yang satu, “Dia itu pembunuh!”
“Berdoa kau ito supaya kekuatan setan yang dipakai BS memikat dirimu dilepaskan Tuhan!” ujar yang satu lagi.
“Aku tidak diguna-gunai…!” teriak RS histeris dengan mata membelalak, “Aku sadar melakukannya! Aku sangat mencintainya!”
Jeritan namboru-ku itu sungguh menyayat hati. Jujur, airmataku menetes, dan… muncul rasa benci pada ayahku dan semua kerabat Sipitu Ama, walau pernah tertangkap mataku, ayahku menyeka airmatanya dengan punggung tangannya. Menurutku, mereka amat kejam memisahkan RS dan BS—dan dihajar pula bersama ayah dan kedua saudaranya.
Tatkala malam sudah larut dan orang-orang yang ditugaskan jaga sudah berlelapan, raung tangis RS yang terus memanggil BS, Tuhan, bahkan… hantu-hantu, membuat bulu tubuh merinding. Suasana semakin mencekam ketika anjing-anjing kampung melolong bersahutan di kejauhan.
Rapat marga akhirnya memutuskan, RS dipindahkan ke Jakarta—ke rumah kakaknya yang sudah menikah. Lusanya, pagi-pagi, ia dipaksa naik kapal kayu bermotor menuju Tigaras, lalu dengan bus ‘Laut Tawar’ dibawa ke Medan via Siantar. Ia berteriak-teriak memanggil-manggil kekasihnya yang masih ditahan di kantor polisi. Orang-orang Pangururan mengaku, sering mendengar jeritan BS, ayah dan kedua saudaranya, yang kesakitan karena disiksa petugas. Dua minggu kemudian, BS dipindahkan ke LP lain, kabarnya ke LP Sibolga. Ayah dan kedua saudaranya dilepas setelah beberapa hari ditahan dan diinterogasi.
Hingga sekarang, kadar cinta RS pada BS tak susut-susut. Cinta yang melekat di hatinya ternyata bukan akibat guna-guna atau manipulasi dorma sijunde—yang katanya mudah pudar itu. Terbukti, hingga menjelang masa pensiunnya di sebuah kantor instansi pemerintah, ia tetap melajang, hidup bersama pembantu di rumahnya yang bersahaja di wilayah Jakarta Timur. Gairahnya selalu meluap manakala BS disinggung, wajahnya akan berbinar beriring senyum walau melankolis menuturkan kisah cintanya yang tragis itu. Saat bercerita, ia seolah gadis yang beranjak dewasa dan baru merasakan dahsyatnya getar asmara, dan BS masih lelaki tampan yang usianya belum 20 tahun.
Tak pernah diketahuinya di mana BS berada; juga tak tahu, masih hidup ataukah sudah mati. Tapi ia seolah yakin, suatu saat, BS akan datang menjemput dirinya untuk melanjutkan jalinan cinta yang dipenggal paksa 34 tahun lampau.
Pangururan Kab SamosirArtikel berupa berita ini ditulis oleh Suhunan Situmorang — advokat pada Nugroho Partnership, Jakarta, juga penulis novel Sordam — yang kuterima di imelku, bataknews [at] gmail [dot] com.
MALAM ITU PARA lelaki dewasa, umumnya bermarga Situmorang dan Sitohang yang tergabung dalam paguyuban klan Sipitu Ama, hampir tak tidur. Semburat amarah dan ketegangan tergurat di wajah mereka. Pembicaraan tak putus-putus, asap rokok berkepul-kepul. Sejak pagi rumah kami dipenuhi orang, dijadikan semacam posko darurat. Sesekali tentara, polisi, sipir penjara, keluar-masuk. Sebuah kejadian mirip kisah Romeo dan Juliet menggemparkan warga kota mungil di tepi Danau Toba itu.
RS, seorang gadis SMA, dibawa kabur seorang pria. Sebetulnya tindakan semacam bukan hal yang harus mengundang kegemparan bagi masyarakat-adat Batak. Masalahnya, sang lelaki berstatus narapidana! Baru hitungan bulan ia huni lembaga pemasyarakatan (LP) Pangururan karena tindak pidana kelas berat: membunuh seorang kerabat semarganya, melukai dua lainnya, karena konflik perbatasan tanah (parbalohan).
Tak disangka, diam-diam RS menjalin asmara dengan BS, narapidana yang terbilang tampan dan tubuhnya mirip atlet tinju itu. Ayah RS yang kami panggil ompung (kakek), tak lain kepala LP (sekarang disingkat Kalapas). Rumah dinasnya berbatasan langsung dengan sisi barat LP yang cuma dibatasi pagar tinggi berlapis kawat duri peninggalan Belanda dan tanaman perdu.
Masih jelas kuingat wajah lelaki nekat itu. Manakala melintas di depan LP yang kebetulan satu jalan dengan rumahku, Jln. Kejaksaan, Tajur, acap ia berdiri di halaman depan LP, bertelanjang dada, berkeringat, usai kerja. Tapi ia tak seperti narapidana lainnya yang suka menyapa anak-anak Tajur agar diberi rokok, cabe, garam, gula, kopi, ubi, atau sisa makanan di rumah. Napi yang satu ini agak beda. Pendiam, terkesan angkuh, menjaga harga diri dengan cara tak meminta-minta, seolah ingin berkata bahwa dirinya bukan terpidana sembarangan. Warna kulitnya sawo matang, mulus, tak legam sebagaimana lazimnya petani. Bentuk mukanya pun tak seperti wajah Batak pedesaan kebanyakan. Andai bukan napi, pantaslah bila ia diidamkan kaum wanita.
Hampir semua napi (kecuali yang dianggap berbahaya) melakukan sosialisasi dengan penduduk setempat. Tenaga mereka digunakan pengusaha kedai makan dan orang-orang yang melakukan hajatan adat. Upah mereka dibagi dua, sebagian ke sipir penjara, sisanya ke kantong mereka. Selama bekerja di luar penjara, sipir tak perlu mengawasi; herannya, belum pernah terdengar ada napi kabur.
BS belum dibolehkan mengikuti program pemasyarakatan-kembali, mungkin karena masih anyar dan kasusnya pidana kelas kakap. Ia jarang menyapa orang atau sekadar melempar senyum, dan sepertinya memendam amarah karena belum bisa menerima hukuman atas perbuatannya. (Masa itu, majelis hakim datang dari Balige, jadwal sidang tiap Rabu). Cerita orang-orang penjara, sesungguhnya ia “bukan pembunuh”, malah beruntung bisa memenangkan pertarungan berat sebelah melawan tiga lelaki dewasa—masih kerabatnya—yang tiba-tiba menghadang dirinya dengan parang di ladang ubi dan palawija orangtuanya. Kalau tak tangkas berkelahi, lehernyalah yang dipenggal. Sayangnya, saat itu dan hingga kini, belum ada pengacara praktek di Pangururan untuk membela dirinya agar tak dibui 15 tahun. KUHP memungkinkan peringanan hukuman bagi orang-orang yang (harus) membunuh demi membela diri.
Di balik sikap dingin BS, tak dinyana, ia lesatkan panah asmara ke dada RS. Entah bagaimana cara mereka berkomunikasi, dugaan orang-orang, dilakukan dari balik pagar kawat duri sisi kanan LP dan lewat surat-surat. Cinta mereka tumbuh lebat dalam hitungan bulan, apinya membara tak terpadamkan. Bila menunggu selesai masa hukuman, alangkah lamanya. Diam-diam mereka rancang pelarian, dan suatu subuh berhasil meloloskan diri. Cara pelarian BS simpang-siung. Ada yang bilang, RS mengambil anak kunci LP dari kantong ayahnya dan membuka sendiri gembok pagar LP dari luar. Sebagian mengatakan, RS menggunting kawat duri tebal, dicicil berhari-hari. Sebelah kiri halaman rumah RS berbatasan memang dengan pagar LP, tumbuh lebat berbagai tanaman. Seseorang bisa berondok melakukan kegiatan tanpa ketahuan.
Petugas dan puluhan pengisi penjara yang tak begitu besar itu tentulah geger. Lebih menggegerkan lagi setelah tahu, BS juga memboyong putri pak kalapas. Kesimpulan orang-orang, RS diguna-gunai BS. Ia kena sihir dorma sijunde, sejenis pelet pemikat wanita yang konon amat ampuh. Bagaimana mungkin anak pejabat LP (masa itu kalapas termasuk jabatan elit) mencintai napi pembunuh dan nekat membobol penjara bila tak dimejik?
Polisi, petugas LP, pegawai kejaksaan, panik. Di rumah kami, kaum Sipitu Ama, kebetulan ayahku ketuanya, heboh dan tegang. Mereka amat geram dan merasa dipermalukan BS. Ibuku menggelar tikar-tikar pandan untuk menampung puluhan tamu, di dapur kaum perempuan sibuk menyiapkan minuman dan makanan untuk banyak orang, tanpa diperintah.
Kebetulan komandan Puterpera (Koramil sekarang) masa itu bermarga Situmorang, dua polisi senior bermarga Situmorang dan Sitohang, dan camat Sinaga beristrikan boru Situmorang pula. Jadilah pertemuan mereka layaknya rapat Muspida. Sejak pagi hingga tengah malam rumah kami disesaki kerabat dan tetangga. Diam-diam hatiku senang. Ada keramaian, ada ketegangan, ada gunjingan yang mendebarkan, banyak makanan…
Menurut laporan kurir yang sengaja dikirim mengintip, BS dan RS ada di Huta Ginjang-Sagala, kampungnya BS, persis di pinggang Pusuk Buhit—gunung yang dikeramatkan dan dianggap suci, sumber mitos manusia Batak pemula. Tim pemburu dibentuk, persiapan penyergapan dimatangkan. Dua kendaraan sudah parkir di depan rumah, satu jip Willis milik dinas kehutanan, satu mobil bak terbuka milik tentara. Rencana penyerbuan dirancang sang komandan Puterpera, sekaligus pimpinan “pasukan” yang terdiri dari dua tentara, dua polisi, dua utusan marga; tak termasuk seorang “wartawan gadungan” pelajar kelas satu SMP bertubuh kecil yang sangat ingin tahu.
Pukul dua pagi, pasukan bergegas. Aku, yang sengaja lek-lekan seraya melawan kantuk berat, meloncat ke bak belakang mobil pick-up dan langsung tiarap agar tak ketahuan. Rombongan bergerak, jip Willis di depan. Udara sungguh dingin, membuat tubuhku menggigil sembari meringkuk membelakangi kabin pick-up. Jalan sunyi dan gelap yang dilewati rombongan melewati kanal Tano Ponggol buatan Belanda yang memisahkan Samosir dengan Sumatera, lalu belok kanan menuju Aek Rangat—sebuah lokasi wisata pemandian air panas alami di kaki Pusuk Buhit, di atas danau.
Lewat Aek Rangat, kendaraan menanjaki jalan berbatu, berlobang-lobang, berkelok-kelok, sebelum berhenti di atas desa Tulas. Huta Ginjang masih ratusan meter di atas, mendekati puncak Pusuk Buhit. Gelap gulita di sekeliling, bulan tak muncul, bintang diselubungi awan, suara-suara jangkrik dan serangga malam mengusik keheningan. “Komandan pasukan” memberi pengarahan sebelum bergerak menanjaki jalan setapak sembari membawa senjata laras panjang, pistol, parang, kayu pemukul dan tali.
Saat itulah muncul penyesalan dalam hatiku, kenapa memaksakan diri ikut. Ada rasa takut bila sendirian di mobil, selain tak tahan menahan dinginnya udara. Bila menyerah, pastilah didamprat amanguda, sang komandan tentara; manusia galak nan tegas namun berhati baik. (Ia layaknya ayah kedua bagi kami anak-anak ayah). Akhirnya kuputuskan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam, mendaki tanpa penerangan.
Ternyata rumah BS lumayan jauh dari tempat kami berhenti. Napasku sudah ngos-ngosan, semak belukar yang dibasahi embun pagi sungguh menyebalkan—dingin menusuk bila kena kulit. Tiba di sebuah perkampungan yang hanya diisi sedikit rumah, senter dimatikan, kepala rombongan memberi pengarahan. Tubuh mereka bagai hantu-hantu yang berkerumun. Rumah BS langsung mereka kurung, dan…brak! Pintu rumah kayu yang ringkih itu mereka dobrak bertubi-tubi. Aku heran sekaligus takjub, semudah itu mereka dobrak pintu rumah BS. Dasar serdadu!
“Angkat tangan! Jangan bergerak! Jangan ada yang melawan, mana BS dan RS?”
Terjadi kegaduhan. Penghuni rumah yang ternyata beberapa keluarga, berteriak-teriak. Kaum perempuan dan anak-anak sontak bertangisan. Orangtua dan saudara-saudara BS rupanya melakukan perlawanan. Di luar rumah, seorang polisi meletuskan senjata. Dor! Dor! Dor! Jantungku berdebar kencang, kakiku gemetar, perasaanku kacau-balau. Kegaduhan berlanjut, kaum perempuan kian menjerit ditingkahi bentakan tentara dan polisi. Aku panik di semak-semak, takut kena peluru nyasar, cemas dipatuk ular.
“Biarkan aku di sini Bapaku, rajaku…!” teriak RS sambil meraung, “Ampun…kumohon Amanguda, jangan pisahkan kami!”
Gaduh!
“Diam…! Tutup mulutmu! Bikin malu!”
“Ampun Ito, jangan pisahkan kami! Jangan pukuli mereka, Bapa! Mereka tidak salah…”
“Diam…! Bikin malu!”
“Aku sangat mencintainya, Amanguda…! Kami saling mencintai, Bapa…!”
“Tutup mulutmu! Bawa dia ke jip!”
RS diseret keluar rumah, BS bersama orangtua dan dua abangnya digelandang. Aku bergegas menuruni perbukitan, beberapa kali tergelincir, lenganku luka gores.
Salah seorang amanguda kaget melihat badanku rebah di bak mobil. Mulutku gagap menjelaskan, lalu disuruh pindah ke kabin depan. BS bersama ayah dan dua saudaranya diletakkan di bak mobil, tangan mereka diikat, diawasi tentara dan polisi. RS susah-payah dibawa ke jip, tubuhnya diseret menuruni jalan setapak sambil histeris.
Sepanjang jalan pulang yang penuh kabut, kami membisu. RS tetap berteriak-teriak dan berusaha meloncat dari jip yang melaju perlahan. Sesekali kulirik ke belakang lewat kaca dinding kabin belakang. Hidung dan bibir BS, juga ayah dan saudaranya, agaknya berlumur darah.
Aneh…, diam-diam muncul keinginanku membebaskan mereka. Andai dapat, ingin kubantu mereka melarikan diri, berlari dan berlari untuk mendaki perbukitan tinggi yang mengitari lembah Sianjurmulamula, lalu bersembunyi di hutan Laepondom. Kusesalkan kebodohan BS dan RS yang tak memilih kabur dengan menumpang bus jurusan Sidikalang atau Doloksanggul-Tarutung. Sungguh pelarian yang tanggung-tanggung.
Menjelang kedatangan matahari, kami tiba di Pangururan. Para “tawanan” itu langsung dijebloskan ke ruang tahanan polisi, sementara RS dibawa ke rumahku. Ia dikurung di kamar tengah. Bergantian kaum ibu dan bapak menemuinya, memberi nasehat, juga memarahinya karena telah menorehkan aib di wajah orangtua dan klan Sipitu Ama.
RS tak mau dengar, menutup telinga sambil menjerit, meratap, meraung, minta dikembalikan pada kekasihnya. Acap tubuhnya berguling-guling sambil meraung dan meronta. Masih kuingat kata-kata seram yang sering diucapkannya bersama ratap yang menyayat-nyayat kalbu: ”Walau pisau tajam sudah kalian siapkan untuk membunuhku, aku akan tetap memilih BS…!” Terkadang: “Ooo..Among, inong, inanguda, amanguda, ito, eda, lebih baiklah kalian bunuh diriku daripada berpisah dengan BS…! Dialah lelaki satu-satunya yang kucintai dan mencintaiku di bumi ini..” Dan, ketika ayahku coba membujuk agar ia tenang, ia menangis seraya mengiba-iba: “Among yang baik, Bapaku…, Ito-ku nalagu…, kasihanilah kami. Restuilah hubungan kami, Ito…”
“Sadar kau R***, dia itu mengguna-gunaimu!” kata yang satu, “Dia itu pembunuh!”
“Berdoa kau ito supaya kekuatan setan yang dipakai BS memikat dirimu dilepaskan Tuhan!” ujar yang satu lagi.
“Aku tidak diguna-gunai…!” teriak RS histeris dengan mata membelalak, “Aku sadar melakukannya! Aku sangat mencintainya!”
Jeritan namboru-ku itu sungguh menyayat hati. Jujur, airmataku menetes, dan… muncul rasa benci pada ayahku dan semua kerabat Sipitu Ama, walau pernah tertangkap mataku, ayahku menyeka airmatanya dengan punggung tangannya. Menurutku, mereka amat kejam memisahkan RS dan BS—dan dihajar pula bersama ayah dan kedua saudaranya.
Tatkala malam sudah larut dan orang-orang yang ditugaskan jaga sudah berlelapan, raung tangis RS yang terus memanggil BS, Tuhan, bahkan… hantu-hantu, membuat bulu tubuh merinding. Suasana semakin mencekam ketika anjing-anjing kampung melolong bersahutan di kejauhan.
Rapat marga akhirnya memutuskan, RS dipindahkan ke Jakarta—ke rumah kakaknya yang sudah menikah. Lusanya, pagi-pagi, ia dipaksa naik kapal kayu bermotor menuju Tigaras, lalu dengan bus ‘Laut Tawar’ dibawa ke Medan via Siantar. Ia berteriak-teriak memanggil-manggil kekasihnya yang masih ditahan di kantor polisi. Orang-orang Pangururan mengaku, sering mendengar jeritan BS, ayah dan kedua saudaranya, yang kesakitan karena disiksa petugas. Dua minggu kemudian, BS dipindahkan ke LP lain, kabarnya ke LP Sibolga. Ayah dan kedua saudaranya dilepas setelah beberapa hari ditahan dan diinterogasi.
Hingga sekarang, kadar cinta RS pada BS tak susut-susut. Cinta yang melekat di hatinya ternyata bukan akibat guna-guna atau manipulasi dorma sijunde—yang katanya mudah pudar itu. Terbukti, hingga menjelang masa pensiunnya di sebuah kantor instansi pemerintah, ia tetap melajang, hidup bersama pembantu di rumahnya yang bersahaja di wilayah Jakarta Timur. Gairahnya selalu meluap manakala BS disinggung, wajahnya akan berbinar beriring senyum walau melankolis menuturkan kisah cintanya yang tragis itu. Saat bercerita, ia seolah gadis yang beranjak dewasa dan baru merasakan dahsyatnya getar asmara, dan BS masih lelaki tampan yang usianya belum 20 tahun.
Tak pernah diketahuinya di mana BS berada; juga tak tahu, masih hidup ataukah sudah mati. Tapi ia seolah yakin, suatu saat, BS akan datang menjemput dirinya untuk melanjutkan jalinan cinta yang dipenggal paksa 34 tahun lampau.
No comments:
Post a Comment