Mungkin bagi anda yang bukan orang sumatera utara atau bukan orang sumatera khususnya orang suku melayu,anda pasti tidak tahu akan cerita tentang suatu kerajaan yang sekarang menjadi suatu kota di Sumatera Utara. kerajaan itu bernama kerajaan DELI. Saya hendak menceeritakannya sedikit saja kepada anda apa bila anda nantinya berkunjung ke Sumatera Utara. berikut sejarah kerajaan tersebut :
1. Sejarah
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 M terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723 M. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.
2. Silsilah
Urutan raja yang berkuasa di Serdang adalah sebagai berikut:
Tuanku Umar (1723-?).
Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817)
Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (memerintah 1817-1850) M)
Sultan Basyaruddin Shaiful Alamshah (1850-1880)
Sultan Sulaiman Syariful Alamshah (1880-1946).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946 M. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.
Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815 M). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817 M, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (memerintah 1817-1850 M) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865 M, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907 M, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan kerajaan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kerajaan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.
5. Struktur Pemerintahan
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:
Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
Sebagai Kepala Adat Melayu.
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu :
Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basarshah.
Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggeris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823 M, ia mencatat:
Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
Sultan Thaf Sinar Basarshah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjaual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
Cukai di Serdang cukup moderat.
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:
secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basarshah ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850 M, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.
1 comment:
Kerajaan Deli Serdang ini salah satu kerajaan tertua di Nusantara ya... mantab sekali informasinya, thanks ya :)
Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang
Post a Comment